Selelah apapun, kata Yus, chef harus bisa tertawa, sementara terus melempar guyonan untuk menyenangkan pelanggan. Dan semua itu dilakukan dalam Bahasa Inggris.
Ricky mengakui kemampuannya berbahasa Inggris masih jauh dari sempurna. Tetapi, ia menutupinya dengan terus berbicara. “Jadi, ketika saya masak, customer sudah saya anggap orang biasa. Walaupun tidak kenal, sudah saya anggap orang Tulung Agung,” katanya.
Yus menambahkan bahwa pelanggan umumnya tidak menuntut koki mampu berbahasa Inggris dengan sempurna. “Tidak perlu perfect banget. Yang penting dia mengerti apa yang kita omongkan.”
Dengan banyak tuntutan seperti itu, mengapa justru banyak orang Indonesia di Amerika mengincar profesi ini?
Gajinya besar, kata Yus, yang juga diakui Jaya dan Ricky. Rata-rata $5.500-$7.000 per bulan. Gaji itu utuh karena koki ditampung di rumah pemilik resto. Mereka tidak membayar sewa, tidak membayar listrik, gas dan air. Makan disediakan di restoran.
Selain itu, kata Ricky yang menjadi kepala chef dan ikut memiliki restoran tempatnya bekerja, chef menempati posisi yang tinggi dan tidak mudah digantikan. “Jadi kalau kita sudah jadi hibachi chef, tidak ada ceritanya kita tidak mendapat pekerjaan. Pekerjaan yang mencari kita.”
Sebelum pandemi, menurut Ricky, sekitar 4.000 orang Indonesia mengisi posisi itu. Jumlah itu turun 40 persen setelah pandemi.
Dengan semakin pulihnya ekonomi di Amerika, kebutuhan akan koki semakin tinggi. Ini peluang yang terbuka lebar bagi orang Indonesia. Dan pemilik resto, kata Jaya dan Ricky, cenderung memilih koki dari Indonesia. Alasannya, orang Indonesia murah senyum dan cepat belajar. [ros]