MoeslimChoice. Putusan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Bharada Richard Eleizer (Bharada E) yang sudah menjadi justice collaborator (JC), kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) dengan tuntutan penjara 12 tahun, membuat publik kecewa.
Tuntutan tersebut dianggap tidak adil, lantaran lebih tinggi dibandingkan tuntutan terhadap terdakwa lainnya, seperti Putri Chandrawati, Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf yang masing-masing hanya dituntut 8 tahun penjara.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD pun merespon kekecewaan publik terkait tuntutan bagi terdakwa Richard Eliezer tersebut.
Mahfud MD tidak mempersoalkan jika ada masyarakat yang kecewa dengan tuntutan terhadap para terdakwa pembunuhan berencana Brigadir J tersebut.
"Silakan saja, nanti kan masih ada pleidoi, ada putusan Majelis. Saya melihat kalau Kejagung sudah independen, dan akan kami kawal terus," kata Menko Polhukam, Mahfud MD kepada wartawan di lingkungan Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Sementara itu, pihak Kejaksaan Agung mengatakan, bahwa rekomendasi justice collaborator (JC) terdakwa Richard Eliezer, yang direkomendasikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah terakomodir dalam surat tuntutan jaksa penuntut umum. Karena itu, tuntutan pidana terhadap Richard Eliezer jauh lebih ringan dibandingkan Ferdy Sambo.
"Terdakwa mendapatkan tuntutan pidana jauh lebih ringan dari terdakwa Ferdy Sambo sebagai pelaku intelektual," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung I, Ketut Sumedana di Jakarta, seperti dilansir dari jpnn, Kamis (19/1/2023).
Menurut Ketut Sumedana, Richard Eliezer (Bharada E), merupakan seorang bawahan yang taat pada atasan untuk melaksanakan perintah yang salah, sekaligus menjadi eksekutor pembunuhan Brigadir J.
Dijelaskan Ketut bahwa kasus pembunuhan berencana tidak termasuk atau diatur berdasarkan Pasal 28 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam undang-undang tersebut dan Surat Edaran Mahkamah Agung, kata Ketut, memang tidak secara tegas disebutkan pembunuhan berencana apakah masuk kategori JC yang bisa diberikan atau tidak. Kemudian diktum dan delictum yang dilakukan Richard Eliezer sebagai eksekutor, yaitu pelaku utama bukanlah sebagai penguat fakta hukum.
"Jadi, dia bukan penguat mengungkap satu fakta hukum, yang pertama (mengungkap) justru keluarga korban," tambah Ketut.
Seperti diketahui, pihak keluarga Brigadir J yang pertama kali mempersoalkan kematian anggota Brimob asal Jambi itu, yakni dengan melaporkan kepada polisi terkait dugaan telah terjadi pembunuhan berencana.
Terdakwa Richard Eliezer merupakan pelaku utama, sehingga tidak dipertimbangkan sebagai orang yang mendapatkan JC.
"Hal tersebut sudah sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 dan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban," pungkasnya. [mt]