Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan Kementerian Agama (Kemenag) RI dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), agar segera melakukan perubahan skema pengelolaan dana haji. Mendesak untuk dilakukan, skema pengelolaan dana haji Indonesia memperinci saldo yang dimiliki setiap jamaah.
BPKH harus membuat pengelolaan dana haji Indonesia itu mencakup rincian yang memuat informasi terkini dan total nilai manfaat yang didapatkan masing-masing calon jamaah haji.
Adalah Ketua MUI Bidang Fatwa Prof Dr KH Asrorun Niam Sholeh yang mengingatkan itu pada Halaqah Komisi Infokom MUI, Selasa lalu secara virtual, dan dikutip MUIDigital.
Diketaui, Dana Haji Indonesia kini menjadi sorotan publik setelah bulan lalu Kemenag mengusulkan, biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) 2023 sebesar Rp69 juta.
Dikatakan ulama yang karib disapa Kiai Niam ini, skema pengelolaan dana haji saat ini masih memuat masalah aklul mal bi dhulmin (makan harta secara zalim/bukan haknya). Karena kekurangan Dana Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) untuk yang akan berangkat ditutup oleh nilai manfaat orang yang belum berangkat.
"Saya kira ini poin penting pada aspek syar’inya dan di situlah penting untuk perbaikan tata kelolanya,” tegas Kiai Niam.
Menurut Kiai Niam, proporsi yang diusulkan Kemenag berupa proporsi BPIH yang 70 persen dari Bipih dan 30 persen dari nilai manfaat itu, sama sekali belum merinci saldo milik masing-masing jamaah.
"Nilai manfaat itu masih menggunakan nilai manfaat jamaah individual untuk ditempatkan di dana yang bersifat kolektif," tandasnya.
Dipaparkan Kiai Niam, ketika saldo masing-masing jamaah sudah definitif berapa, ketika ditetapkan Bipih dan BPIH nanti akan ketahuan kebutuhannya berapa. Misalnya saja nanti BPIH ditetapkan Rp100 juta, dana jamaah yang akan berangkat berapa, maka itulah seharusnya.
Kiai Niam sangat mendukung langkah BPKH untuk membuat rekening virtual (virtual account) masing-masing jamaah. Karena ini adalah salah satu cara menetapkan berapa besar uang yang dimiliki calon jamaah haji mulai dari menyetor sampai akan berangkat nanti.
Ia menekankan bahwa skema memperinci rekening tiap jamaah itu sudah dipandu Fatwa Ijtima Ulama MUI dan Undang-Undang.
"Dengan skema saldo personal itu, ketika jamaah haji batal atau tidak jadi berangkat, maka uangnya bisa dikembalikan termasuk nilai manfaatnya," kata Kiai Niam.
Ditambahkannya, “Sesuai pertimbangan syar’i, nominal setoran awal apakah itu 25 juta atau berapapun nilainya secara syar’i adalah punya jamaah, bila dikembalikan, maka hasil investasi atau nilai manfaat, itu juga punya jamaah."[*]