MoeslimChoice.Dalam pidatonya ia menyatakan: “Tugas para ulama adalah amar makruf nahi munkar. Majelis Ulama Indonesia hendaknya menjadi penterjemah yang menyampaikan pikiran-pikiran dan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional maupun pembangunan daerah kepada masyarakat. MUI hendaknya mendorong, memberi arah dan menggerakkan masyarakat dalam membangun diri dan masa depannya, MUI hendaknya memberikan bahan-bahan pertimbangan mengenai kehidupan beragama kepada pemerintah. MUI hendaknya menjadi penghubung antara pemerintah dengan ulama.”
Lalu, pada Berita Nasional TVRI 26 Juli 1975 Ahad malam memberitakan penutupan Musyarawah ulama itu dan pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta terpilihnya Prof Hamka sebagai Ketua Umum MUI secara aklamasi. Acara penutupan itu dihadiri Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Keesokan harinya berita itu ramai menjadi perbincangan orang yaitu kelahiran MUI. Amatan, analisa, komentar bahkan teka-teki bermunculan.
Bisa dimaklumi. Pemerintahan Orde Baru pasca-Pemilu 1971 mulai banyak dicurigai, terutama dengan diajukannya RUU Perkawinan yang penuh konstrofersial dan memunculkan penentangan keras umat Islam sehingga, kehadiran Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 26 juli 1975 juga dianggap sebagai upaya mengendalikan umat Islam oleh pemerintahan Orde Baru.
Masyarakat patut curiga melihat perkembangan politik masa itu, Pemerintah ‘menjinakkan’ semua organisasi dengan dalih penyederhanaan, termasuk organisasi politik. Dari 10 partai perserta Pemilu 1971 diciutkan menjadi tiga yaitu Golkar, PPP dan PDI pada Januari 1973.
Disusul 25 organisasi buruh menyatu dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) pada 25 Februari 1973. Para petani pun pada 24 April rame-rame berpayung Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Tak hanya itu para nelayan bergabung di Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). Para pemuda digiring masuk Komite Nasional Pemuda Indonesia pada 23 Juli 1973.
Lalu, apa MUI juga mau dijadikan penyatuan ormas-orang Islam. Rabu, 3 Agustus 1975 H. Mahbub Djunaidi kolumnis kenamaan menulis di harian Kompas halaman pertama dengan judul ‘Majlis Ulama, dari Mana mau ke Mana’, seolah mewakili masyarakat. Dia menulis:
“Jadi buruh ltu tidak gampang, begitu juga jadi nelayan. Tapi, apalagi ulama tentu lebih tidak gampang. Lihat dulu ilmunya, kemudian amalnya, dan kemudian pengakuan musyarakat. Itulah sebabnya, mustahil kita mengharapkan semua penduduk dewasa bisa jadi ulama. Lagi pula. memang tidak perlu. Biar dibilang sedikit, asal betul, cukuplah.”
“Yang dibilang ulama ini sekarang simpang siur, ya tidak juga. Namun dirasa perlu juga ada Majelis Ulama, supaya lebih mantap, seperti halnya FBSI atau KNPl atau HNSI ltu. Majelis itu diharap mengikat para ulama dari segala ukuran dan kaliber, sehingga bisa bekerja sama dengan Pemerintah dalam zaman pembangunan sekarang ini. Bukankah peranan ulama ini diperlukan buat menggiatkan pembangunan, bahkan sampai-sampai suksesnya Keluarga Berencana sekalipun. Jangan disebut lagi untuk memelihara kerukunan Agama. Itu sebabnya, dua tahun sesudah KNPI, lahirlah Majelis Ulama di ujung bulan Juli 1975, walaupun di beberapa daerah sudah ada majelis semacam itu di tingkat lokal. Buntut dulu, kepala menyusul.”
Para ulama berkumpul di Jakarta sejak 21 hingga 26 Juli 1975 dalam Musyawarah Nasional I Majelis Ulama menghasilkan sebuah piagam berdirinya MUI. Tercatat dalam piagam itu pentingnya persatuan ulama di Indonesia demi mewujudkan ukhuwah Islamiyah dalam rangka “pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa indonesia”. Pesan Presiden Soeharto dalam pembukaan menjadi landasan arah MUI.
Mahbub melanjutkan, “Barang baru namanya, tentu macam-macam penilaian orang. Ada yang spontan menyambut. Ada yang belum paham makna dan tujuannya. Ada yang terheran-heran, misalnya, tatkala melihat foto peserta musyawarah bersama Presiden di koran Kompas, ada yang duduk di lantai seperti lazimnya pemain sepakbola. Padahal, apa anehnya, bukankah Ulama juga bila duduk atau berdiri seperti kebanyakan orang?”
Muncul gagasan menyatukan ulama dalam sebuah wadah sejak 1973. Menteri Agama Mukti Ali melalui Dirjen Bimas Islam secara pribadi mengundang beberapa tokoh Muslim terkemuka, yaitu Mr Kasman Singodimedjo, Buya Prof Hamka, KH Hasan Basri, KH Syukri Gozali, dan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud. Dalam pertemuan di kediaman Menteri Agama disepakati bahwa MUI berdiri dengan syarat tidak operasional.
MUI tidak berafiliasi kepada golongan politik manapun. MUI tidak akan melakukan kegiatan seperti yang dilakukan oleh organisasi Islam lainnya, melainkan hanya sebagai koordinator di tingkat pusat.
Instruksi pembentukan Majelis-Mejelis Ulama tingkat daerah diterbitkan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud pada Mei 1975 dan sebagai tindak lanjut Lokakarya Muballigh seluruh Indonesia.
Pemerintah mengumumkan penunjukan sebuah panitia persiapan pembentukan Majelis Ulama tigkat nasional pada tanggal 1 Juli 1975 dengan menunjuk Letjen (Pur) H Sudirman, Buya Hamka, KH Abdullah Syafii, dan KH Syukri Gozali.
Sewaktu menerima delegasi Dewan Masjid Indonesia pada tanggal 24 Mei 1975 Presiden Soeharto mengemukakan dua alasan penting pembentukan MUI yakni keinginan pemerintah agar umat Islam bersatu dan kesadaran bahwa masalah yang dihadapi bangsa tidak dapat diselesaikan tanpa keikutsertaan ulama. Dengan kata lain pemerintah memiliki kepentingan agar ulama dan umat Islam secara umum turut berpartisipasi dalam pembangunan.