Kisah Ibu Siti Indasah dari Pati, Jawa Tengah, menjadi cerita inspiratif bagi kita semua. Siti Indasah adalah salah seorang jamaah haji Indonesia tahun 2022. Jangan membayangkan Bu Siti memiliki hektaran sawah atau pebisnis dengan omset ratusan juta atau seorang pegawai dengan gaji puluhan juta per bulan. Dia hanyalah seorang penjual pecel.
Sudah lama hatinya dibuai rindu untuk ziarah ke Tanah Suci, melaksanakan ibadah haji sekaligus ziarah ke makam Nabi. Dia tahu bahwa hitung-hitungan matematis, hartanya tak akan cukup untuk membayar biaya haji. Tapi kerinduan untuk pergi haji ke Tanah Haram tidak bisa dienyahkan. Dan, rindu itu berat, sangat berat!
Akhirnya, sejak sebelas tahun lalu, dia membulatkan tekadnya. Dari hasil jualan nasi pecelnya, dia sisihkan sebagai tabungan haji. Jika Anda bertanya berapa hasil jualan nasil pecelnya hingga bisa menabung untuk haji? Dia hanya mendapat penghasilan seratus ribu rupiah per hari dari jualan pecel. Jika dia setiap hari jualan nasi pecel, dan penghasilannya selalu stabil di angka seratus ribu, maka satu bulan hanya mendapatkan uang sebesar tiga juta rupiah.
Angka itu sebetulnya hanya cukup untuk menutup kebutuhan hidup bulanannya, bahkan mungkin kurang. Tapi rindu yang memberat di hatinya telah membentuk telaga tekad.
Dia menabung sepuluh ribu rupiah setiap hari untuk menjadi tamu mulia Allah (Duyufurrahman).
Haji itu panggilan Allah kepada hamba-Nya. Hati siapapun yang sanggup mendengar panggilan itu pasti akan tergetar. Kekuatan apa yang bisa menghalangi hati yang digetarkan oleh rindu kepada Allah. Demikianlah, Allah memanggil Ibu Siti Indasah, dan Ibu Penjual Pecel ini pun berangkat ke Mekkah tahun ini sebagai salah seorang jamaah haji Indonesia.
Ibadah Haji memang mempersyaratkan 'istitha'ah' (kemampuan). Kemampuan ini mencakup fisik dan biaya. Berbeda dengan shalat, walau di dalamnya mencakup tiga belas rukun, namun pelaksanaannya nyaris tidak memerlukan biaya.
Sementara, ibadah haji, walau hanya berisi lima rukun, tapi ia harus dilakukan pada tempat dan waktu yang telah ditentukan. Bagi jamaah haji dari Indonesia, berangkat ke Makkah tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit, apalagi bagi orang yang ekonominya pas-pasan.
Akan tetapi, mampu secara ekonomis bukanlah syarat substantif bagi seseorang untuk berangkat haji. Melaksanakan ibadah haji tidak memerlukan biaya. Ibadah haji itu "gratis" alias tidak berbayar. Allah tidak pernah menarik karcis bagi siapa saja hamba-Nya yang bertamu ke Rumah-Nya.
Cuma masalahnya adalah pesawat yang kita gunakan menuju tempat beribadah haji itu bukan pesawat milik pribadi. Hotel juga bukan milik kita. Makanan yang kita makan bukanlah hidangan yang dimasak oleh tangan kita sendiri. Hal-hal itu serta berbagai sarana penunjang lainlah yang membuat kita harus mengeluarkan ongkos.
Sekalipun demikian, kisah Ibu Siti Indasah di atas menyadarkan kepada kita bahwa haji bukanlah semata untuk orang-orang kaya. Kaki kita tidak akan melangkah ke mana pun jika kita tidak memiliki niat untuk menggerakkannya.
Begitu juga dengan haji. Tak setiap orang kaya berangkat berhaji. Juga, tak setiap orang miskin tidak bisa memenuhi panggilan-Nya. Kerinduan kepada Allah akan membulatkan niat seseorang. Niat inilah yang pada akhirnya menggerakkan seorang Ibu Siti menyisihkan uang sepuluh ribu setiap hari dari hasil menjual nasi pecel yang sebetulnya hanya bisa untuk menutup kebutuhan hidup hariannya.
Sampai di sini, marilah kita memaknai kata mampu dengan cara sedikit berbeda. Dikisahkan, ada seorang ibu yang setiap minggu mengantarkan bekal makanan ke lokasi asrama sebuah Madrasah tempat anaknya sekolah. Jarak antara rumah dengan asrama tersebut kurang lebih 30 Km. Jarak ini biasanya ditempuh selama dua jam perjalanan menggunakan bus antarkota.
Ada saat-saat tertentu ketika si Ibu ini mengalami mabuk kendaraan. Anehnya, keadaan ini hanya muncul di saat ketika dia dilanda kecemasan. Suatu hari, si Ibu ini mengalami mabuk berat hingga jatuh sakit. Si Ibu kemudian memeriksakan kesehatannya ke dokter. Setelah memeriksa tubuh si Ibu, dokter bilang bahwa secara fisik, sang Ibu tidak memiliki kelainan apapun. Juga, tidak ada gejala penyakit apapun. Bahkan, dokter mengatakan kalau sang ibu sehat.