Di antara beberapa permasalahan tentang makanan yang sering dialami oleh banyak orang adalah tentang status makanan yang ditemukan di jalan. Saat menemukan makanan di jalan, kadang terbesit dalam hati kita tentang kehalalan mengambil makanan tersebut.
Sebab jika dibiarkan tergeletak di jalan, kita merasa makanan itu menjadi mubazir,
terlebih saat makanan yang kita temukan tersebut masih sangat layak untuk dimakan.
Sehingga kita beranggapan alangkah baiknya jika makanan itu kita ambil untuk
dimakan atau diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan. Lantas sebenarnya
bolehkah kita mengambil makanan yang tergeletak di jalan, baik untuk dimakan atau
diberikan kepada orang lain?
Dalam beberapa kutub at-turats dijelaskan bahwa benda bernilai yang ditemukan di tempat yang tidak bertuan (tidak dimiliki oleh seseorang) seperti jalan raya, masjid, pasar dan fasilitas umum lainnya, maka disebut sebagai barang temuan atau luqathah. Termasuk bagian dari luqathah adalah makanan yang ditemukan di jalan raya.
Para ulama mazhab Syafi'i secara khusus memberikan ketentuan dalam menangani makanan yang ditemukan di jalan, yakni dengan diberikan dua opsi pilihan bagi penemu makanan tersebut (multaqith): Pertama, penemu mengonsumsinya dan mengganti dengan nominal harga dari makanan tersebut, tatkala pemilik makanan telah diketahui.
Kedua, penemu menjual makanan tersebut lalu menyimpan uang hasil penjualan makanan itu untuk diberikan kepada pemilik makanan tatkala ditemukan. (Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib, Hal. 81).
Berdasarkan dua ketentuan tersebut, dapat dipahami pula bahwa memberikan makanan yang ditemukan di jalan kepada orang yang lebih membutuhkan adalah hal yang diperbolehkan, sebab termasuk cakupan dari opsi pertama di atas karena mengonsumsi makanan yang ditemukan di jalan dengan memberikan makanan tersebut pada orang lain, dalam kajian fikih memiliki illat yang sama yakni itlaf (merusak barang temuan), sehingga memiliki konsekuensi hukum yang sama.
Lalu apakah wajib bagi penemu makanan mencari pemilik makanan atau mengumumkan
kepada khalayak luas tentang makanan yang ditemukannya, sebagaimana ketentuan dalam
bab luqathah?