“...Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung kepada Sukarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Patah tumbuh hilang berganti...”
(Mr Sjafruddin Prawiranegara, 22 Desember 1948)
Tanggal 18 Desember 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia (RI) Nomor 28 tentang Hari Bela Negara (HBN). Keppres yang hanya satu lembar itu berisi dua klausul utama, yakni (1) Tanggal 19 Desember ditetapkan sebagai HBN, dan (2) HBN bukan merupakan hari libur.
Berarti dua belas tahun sudah usia HBN. Tahun ini, kegiatan HBN tersebar merata di kalangan pemerintahan daerah. Hanya saja, belum terlihat antusiasisme warga berdasarkan kesadaran sendiri untuk memperingati HBN ini. HBN masih terkesan sebagai negara sentris.
Mengapa 19 Desember?
Tanggal itu diambil dari hari deklarasi Pemerintahan Darurat (PD) RI di Bukittinggi, Sumatera Barat. Bukittinggi sekaligus menjadi ibukota perjuangan yang baru, setelah Yogyakarta diduduki oleh Belanda. Negara RI masih berusia balita, yakni tiga tahun lebih.
Hanya saja, pengalaman revolusi kemerdekaan dengan cepat memicu hormon pertumbuhan negara. Dominasi kalangan terpelajar pada lapisan atas kepemimpinan nasional, berdampak positif dan suportif bagi pelaksanaan cita-cita kemerdekaan. Penyesuaian demi penyesuaian dilakukan, guna menghadapi situasi yang tiba-tiba bisa berubah cepat.
Kejelian Presiden SBY atas HBN itu menunjukkan kemampuan untuk menjahit titik sambung dari serakan lubang-lubang hitam dalam sejarah bangsa Indonesia.
Stigma sebagai suku bangsa pemberontak masih terasa kuat terhadap warga Sumatera Barat, umumnya, dan etnis Minang, khususnya. Selama dua generasi, orang-orang tua di ranah dan rantau cepat membentuk kesadaran betapa mereka adalah generasi yang putus tali hubungan genetika dan ranji dengan Minang.
Dari mana beban mental itu datang?
Sebagian analisa mengarah kepada kelahiran Pemerintahan Revolusioner (PR) RI pada tanggal 15 Februari 1958. Hampir sepuluh tahun setelah peristiwa PDRI. Negara yang sudah merambah usia remaja itu, bahkan sudah menjalankan Pemilihan Umum Legislatif dan Dewan Konstituante pada tahun 1955.
PRRI berawal dari kawat-kawat protes yang dikirimkan oleh perwira-perwira militer di sejumlah daerah kepada pemerintah pusat yang dipimpin oleh Perdana Menteri dalam sistem parlementer.
Namun, nuansa persaingan politik tetap tampak. Partai Sosialis Indonesia (PSI), misalnya, gagal meraih target suara pemilih. Partai yang banyak dihuni kaum intelegensia ini, hanya mampu meraih 5 kursi parlemen. PSI berada di urutan ke delapan dalam peringkat hasil pemilu 1955.
Kursi PSI itu berada di bawah Partai Nasional Indonesia (57 kursi), Masyumi (57 kursi), Nahdlatul Ulama (45 kursi), Partai Komunis Indonesia (39 kursi), Partai Syarikat Islam Indonesia (8 kursi), Partai Kristen Indonesia (8 kursi), dan Partai Katolik (6 kursi). Upaya saling menjatuhkan kabinet lewat petisi hingga mosi tidak percaya, berlangsung sepanjang tahun.