MoeslimChoice. Said bin Amir hanyalah seorang rakyat biasa. Namun ia memiliki keberanian mengkritisi sikap para sahabat Nabi lainnya, termasuk sikap politik Khalifah Umar bin Khattab, ketika diangkat menjadi pemimpin (khalifah).
Dulu, ia tergolong sahabat Nabi yang berada di baris depan dalam menyokong perjuangan kaum Muslimin. Namun, ketika Rasulullah wafat, kemudian berganti dengan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Said bin Amir melihat adanya gelagat Islam politik yang mewarnai kekisruhan dan kegaduhan di beberapa wilayah. Akhirnya, ia memilih undur-diri dan tak mau lagi berurusan dengan dunia politik.
Ketika Umar bin Khattab naik di tampuk kekuasaan, Said bin Amir merasa gembira, seakan melihat seberkas sinar terang pada sikap dan kepribadian Umar yang tegas.
Pada tahun-tahun sebelumnya, setelah hijrah mengikuti rombongan Nabi ke Madinah, Said dikenal proaktif pada kebijakan maupun keputusan politik Rasulullah, yang tak lepas mengedepankan prinsip-prinsip musyawarah secara adil. Bahkan, dalam kebijakan-kebijakan soal perang dan pertempuran sekalipun.
Sebagaimana Umar, khalifah sebelumnya Abu Bakar, juga mengenal kecerdasan dan ketangkasan Said bin Amir. Kedua sahabat itu selalu mendengar petuah dan arahan yang disampaikan Said sebagai orang yang jenius, taat, penuh perhitungan dan pandai mengukur risiko.
Setelah Umar bin Khattab dilantik, ia mendatangi kediamannya seorang diri seraya memberi nasehat kepada Khalifah yang terpilih: "Wahai Umar! Pusatkan perhatianmu kepada rakyat yang telah memilih dan mempercayaimu. Cintailah mereka seperti engkau mencintai dirimu dan keluargamu. Tolaklah kesenangan pada sesuatu, sebagaimana keluargamu menolak kesenangan yang bisa menggelincirkan hidupmu."
Sikap zuhud dan kesederhanaan Said, memang sudah pembawaan pada dirinya, bukan semata-mata retorika politis belaka. Suatu waktu, Umar bin Khattab memanggil Said untuk sebuah keperluan. Mereka membicarakan gelagat Bani Umayah yang cenderung ambisius di dunia politik praktis, hingga Umar menghendaki sistem pemerintahan dikelola oleh figur-figur yang sederhana dan bersahaja (zuhud).
Sebagai pemimpin dan khalifah, Umar memanfaatkan hak vetonya, untuk menggeser posisi Mu'awiyah (selaku gubernur Damsyik), serta menggantikannya dengan Said bin Amir. Namun di sisi lain, meskipun memiliki keutamaan, nama Said bin Amir kurang dikenal luas di kalangan rakyat biasa, termasuk kaum Muslimin di Madinah.
Ia hanya seorang bersahaja yang dikenal oleh para sahabat sekeliling Nabi saja. Sebagai pendatang Muhajirin yang miskin, ia cenderung introvert, penyendiri dan enggan menonjolkan diri.
Khalifah Umar seketika menerima banyak protes dan kritikan dari orang-orang yang kurang kompeten. Ia memanfaatkan kewenangannya untuk bersikukuh membela pelimpahan yang telanjur dia putuskan atas diri Said bin Amir: "Boleh saja kalian tidak mengenal Said bin Amir, tetapi Allah dan para malaikat sangat mengenal tipikal orang semacam dia!"
Ternyata, cobaan yang dihadapi Umar bukan saja dari lawan-lawan politiknya, melainkan sebaliknya, dari pihak Said dan kerabatnya juga telah mengemukakan penolakannya untuk dipilih selaku gubernur Damsyik,
"Tolong jangan bebani saya dengan ujian seberat ini, wahai Umar," ujar Said.
Sontak Khalifah Umar bangkit dari tempat duduknya, dan berkata tegas, "Demi Allah, saya tidak mau menarik keputusan ini, wahai Said! Kalau orang-orang semacam Anda menolak untuk membantu saya, lalu untuk apa kalian semua memilih dan melantik saya dengan amanat kepemimpinan ini?"
Semua diam terhenyak. Tak seorang pun berani menyanggah dan menanggapi pernyataan sang khalifah.