MoeslimChoice. Seseorang yang bergelut dengan ilmu pengetahuan dan banyak membaca, maka tidak akan kaget dengan yang namanya perbedaan. Hal itu disampaikan Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH
Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha.
Gus Baha pun lalu menceritakan perbedaan di tengah masyarakat, terkait penambahan kata Ta'ala setelah lafadz Allah saat mengucapkan salam. Sebagian orang menolak adanya tambahan kata Ta'ala, penolakan tersebut ditampilkan di depan umum.
Hal ini disampaikan Gus Baha dalam Semarak Pembukaan Safir Tablig Akbar Milad ke-80 Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Senin (13/3/2023) lalu.
"Kita lihat perbedaan itu biasa saja. Mungkin karena bacaannya banyak. Kalau orang yang tidak siap dengan perbedaan, ketika ada tambahan kata Ta'ala setelah lafadz Allah saja dipermasalahkan. Tidak terima kalau Allah disifati sebagai Ta'ala. Padahal Ta'ala, itu makna Yang Maha Luhur, Maha Agung," kata Gus Baha, di Yogyakarta, seperti dikutip dari NU Online, Kamis (16/3/2023).
Lalu Gus Baha pun bercerita, suatu hari dalam sebuah acara ada dua mubaligh. Kiai yang pidato bagianpertama membuka pidato menggunakan redaksi, "Assalamu'alaikum warahmatullahi ta'ala wabarakatuh". Tidak sepakat dengan kiai yang pertama, mubaligh kedua, yang maju menggunakan redaksi salam yang berbeda, dengan tanpa kata Ta'ala, "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh".
Baca Juga: Kejagung Dalami Keterlibatan Adik Menkominfo, Gregorius Alex Plate di Kasus BTS
Masalah penambahan kata Ta'ala saat salam bukan hal baru, dalam Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, No.25683 disebutkan bahwa ada seorang pria menambahkan kata Ta'ala saat mengucapkan salam ke Salman Alfarisi.
حدثنا كثير بن هشام، عن جعفر، عن ميمون، أن رجلا سلم على سلمان الفارسي، فقال: السلام عليكم ورحمة الله تعالى وبركاته، فقال: سلمان: «حسبك» ، ثم رد على الذي قال , ثم أراد أخرى فقال له الرجل: أتعرفني يا
أبا عبد الله؟ فقال: «أما روحي فقد عرف روحك
Hal serupa juga pernah terjadi pada cerita sahabat Abdullah bin Umar.
عَنْ سَالِمٍ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ جَمِيعًا قَال: كَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا سَلَّمَ عَلَيْهِ فَرَدَّ زَادَ، فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ، فَقَال: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى، ثُمَّ أَتَيْتُهُ مَرَّةً أُخْرَى فَقُلْتُ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى
وَبَرَكَاتُهُ، فَقَال: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى وَبَرَكَاتُهُ وَطَيِّبُ صَلَوَاتِهِ
"Satu peristiwa, mubaligh kedua tidak terima ada kata Ta'ala karena dianggap bid'ah. Maka dia menggunakan redaksi salam Allah tanpa Ta'ala," jelas Gus Baha.
Menurut Gus Baha, perbedaan adalah hak bisa, bagi seseorang yang menekuni fiqih itu tahu bahwa yang tidak qunut itu mazhab Hanafi dan yang qunut ikut mazhab Syafi'i. Sekarang berubah, tahu-tahu dikatakan Imam Syafi'i itu Nahdlatul Ulama dan Imam Hanafi itu Muhammadiyah.
Padahal kedua tokoh ini, lahir jauh sebelum dua organisasi tersebut lahir. Begitu juga bab penambahan kata Ta'ala setelah lafadz Allah, khususnya dalam salam. Karena beranggapan bahwa redaksi salam dari Rasulullah tidak begitu alias sudah tidak murni. Lafadz salam dianggap tauqifi, murni dari Nabi Muhammad
SAW.
"Itu kan jadi repot ketika redaksi penambahan kata Ta'ala setelah lafadz Allah saja dipermasalahkan. Perbedaan itu soal sudut pandang. Biasa saja," tegas ulama asal Rembang ini.***
Baca Juga: Pentingnya Kuasai Gramatika Bahasa Arab dalam Menafsir Al-Quran, Menurut Gus Baha
Artikel Terkait
Mengajar Lebih Mulia dari Wiridan, Ini Penjelasan Gus Baha
Sambut Ramadan, Begini Cara Mempersiapkan Diri Menurut Gus Baha