Tak ada yang membantah sedikitpun bahwa Allah adalah zat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Oleh sebab itu, betapapun seolah “kerasnya” Dia dalam mengatur syari’at-Nya, sesungguhnya itu semua tergantung pada kemampuan yang dimiliki oleh sang pelakunya. Karena bagaimanapun Allah lebih tahu, maka sesuatu itu tak akan diperintahkan kalau melewati batas kemampuan yang menjalankannya.
Sesungguhnya Kasih Sayang Allah itu lebih besar daripada murka-Nya. Jadi walaupun Allah mewajibkan atau mengharamkan sesuatu, jika hambanya tak mampu menjalankannya, karena keadaan yang memaksa, maka jalan rukhsah (keringanan-kemurahan) adalah pilihannya. Allah memberikan kemudahan kepada hambanya dalam menjalankan ibadahnya. Dalam keadaan apapun seorang hamba, jika mau beribadah selalu ada syari’at atau tata caranya.
Allah menegaskan dalam Alquran bahwa sesungguhnya Dia tidak akan membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya (QS al-Baqarah [2]: 286). Apa pun jenis perintah Allah yang wajib dijalankan, tentu tidak keluar dari batas kesanggupan si hamba. Bahkan, hukum wajib tersebut bisa gugur jika memang seorang mukallaf (manusia yang menjalankan kewajiban) tidak sanggup melaksanakannya. Dalam artian, kewajiaban tetap harus dijalankan, hanya saja tata caranya disesuaikan dengan kemampuan yang menjalankannya. Itulah makna rukhsah yang sesungguhnya.
Dalam ilmu tradisional sperti fikih, istilah rukhsah dalam Bahasa Arab diartikan dengan keringanan atau kelonggaran. Dengan adanya rukhsah, manusia mukallaf bisa mendapatkan keringanan dalam melakukan ketentuan Allah Swt. pada keadaan tertentu, seperti saat kesulitan. Ilmu ushul fikih menyebutkan, rukhsah bisa membolehkan atau memberikan pengecualian dari prinsip umum karena kebutuhan (al-hajat) dan keterpaksaan (ad-dariirat).
Beberapa contoh rukhsah dalam ibadah adalah berpuasa pada bulan Ramadan wajib bagi mukallaf, tetapi bisa dibayar pada hari lain jika mukallaf sedang dalam perjalanan atau sakit atau juga bagi ibu mengandung apabila dikhawatirkan kandungannya berbahaya. Inilah yang disebut rukhsah. Contoh lainnya, memakan bangkai hukumnya haram (azimah, hukum asal ditetapkannya). Tetapi dibolehkan jika dalam keadaan terpaksa atau untuk berobat (rukhsah).
Hukum rukhsah, yakni al-ibahah (dibolehkan) secara mutlak sekadar kebutuhan atau karena sebatas keterpaksaan saja. Jika sudah tidak dibutuhkan lagi atau tidak ada keterpaksaan lagi, perbuatan itu kembali pada hukumnya yang semula (azimah).
Misalnya, memakan bangkai menjadi haram kembali bagi yang bersangkutan jika tidak dalam keadaan terpaksa atau tidak untuk obat. Demikian juga, orang yang berpuasa pada Ramadan menjadi wajib kembali bagi yang tidak musafir atau orang sakit.
Syarat-syarat Rukhsah
Baca juga: Kawasan Depo Pertamina Plumpang Zona Berbahaya dan Tidak Boleh Dijadikan Tempat Tinggal
Menjalankan bentuk Kasih Sayang Allah itu (rukhsah) tidak semerta-merta diperbolehkan dalam dan untuk perbuatan apa saja. Karena bagaimanapun, sebab-sebab itu mestilah sesuatu yang hasanah (baik) menurut pandangan Islam.
Dalam ilmu ushul fikih, misalnya, disebutkan beberapa alasan yang membolehkan rukhsah itu misalnya bukan untuk bertujuan berlaku dzalim, berbuat dosa, atau meringan-ringankan suatu hukum yang sudah ringan. Hal ini seperti ditegaskan dalam Alquran, "Barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakan bangkai, sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya." (QS al-Baqarah [2]: 173).
Demikian juga, bagi orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) dalam jarak dan kondisi yang ditentukan. Musafir diperbolehkan mengqashar (memendekkan) shalatnya hanya dalam kondisi tersebut. Firman Allah Swt., "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqashar (meringkas) shalatmu." (QS an-Nisaa’ [4]: 101).
Begitupun dengan ibadah puasa Ramadhan, juga mendapatkan rukhsah jika tidak mampu menjalankannya pada Ramadhan. Mukallaf bisa membayarkan puasa pada hari lain jika tak sanggup berpuasa pada Ramadhan karena alasan bagi musafir atau sakit. (QS al-Baqarah [2]: 184).
Kendatipun rukhsah hanya sekadar menghilangkan kesulitan dan menghendaki keringanan sampai menemukan kelapangan sesudahnya. Pada dasarnya rukhsah itu dibolehkan hukumnya. Allah Swt. berfirman, "Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (QS al-Hajj [22]: 78). Pada dasarnya, Allah menginginkan kemudahan dan tidak ingin hamba-Nya kesusahan. Firman Allah Swt. "Allah menghendaki kemudahan untukmu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS al-Baqarah [2]: 185).
Artikel Terkait
Memakai Makeup Waterproof, Sahkah Wudhu?
Hal yang Membatalkan Wudhu, Apa Saja?
Celine Evangelista Kepergok Habis Shalat, Netizen: Beneran Mualaf?
Resmikan Masjid Al-Ayyubi, Gubernur Sulsel Berharap ASN & Non-ASN Bisa Shalat Tepat Waktu