MoeslimChoice. Pengamat ekonomi yang juga mantan menteri keuangan RI, Fuad Bawazier menilai bahwa tingginnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal (Q) 2 tahun 2021 seperti di laporkan BPS karena faktor Low Base Effect, yaitu rendahnya pertumbuhan Q2/2020 sebagai angka pembandingnya.
“Ingat kuartal 2/2020 kita sedang diterpa berat Pandemi sehingga itu meruapka kuartal yang paling jeblok. Pertumbuhan ekonomi kita di kuartal 2/2020 minus 4,19%,” katanya melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi, Jumat (6/8/2021).
Makanya, lanjut Fuad Bwzier, meski pertumbuhan Q2/2021 nampak “mengesankan” sebetulnya angka PDB-nya sendiri hanya Rp2773 triliun alias masih di bawah angka PDB Q3/2019 (sebelum ada Pandemi) yang Rp2819 triliun. Alias ekonomi kita masih menciut, belum kembali ke angka yang semula (normal).
Last but not least, tambah dia, khususnya bagi ekonom yang suka dengan analisa varian ataupun hipotesa yang lebih kritis, dan tetap dengan metode YoY, dapat diungkapkan bahwa PDB (riil) Q2/2019 adalah Rp2735,4 triliun.
“Bila diasumsikan keadaan normal yaitu pertumbuhan ekonomi 5%, maka PDB Q2/2020 seharusnya Rp2872,2 triliun alias masih lebih besar dari angka PDB Q2/2021 yang hanya Rp2773 triliun, yang berarti masih minus. Bila pertumbuhan Q2/2020 diasumsikan NOL persen alias sama saja dg Q2/2019 yaitu Rp2735,4 triliun, maka angka PDB Q2/2021 yang Rp2773 triliun itu hanya menunjukkan pertumbuhan 1,3%,” paparanya.
Maka, terang Fuad Bawazier, meski kita bersyukur dengan angka pertumbuhan resmi Q2/2021 yang 7,07% (YoY), tapi ekonomi kita sebetulnya masih jauh dari pulih. Kenapa? Karena PDB Q2/2021 masih dibawah PDB Q3/2019 yang Rp2819T atau praktis masih sama dengan Q4/2019 yang Rp2770 triliun.
“Itulah sebabnya saya sebutkan bahwa pertumbuhan 7,07% itu masih relatip rendah sebab untuk mengejar ketinggalan selama ini kita harus tumbuh dengan 2 digit seperti Singapore, USA dan Uni Eropa. Artinya, kita masih harus kerja keras dan cerdas, bukan euphoria apalagi membusungkan dada,” ungkapnya.[fah]